Pada Suatu Waktu di Giza

Pada suatu waktu.

Saya tengah melamun dan sesekali terkantuk-kantuk ketika saya sadari bahwa taksi yang saya tumpangi melewati rute yang tak saya kenal.

Asap kendaraan bercampur pasir gurun berterbangan disapu kelam, keledai hilir mudik disusul unta, gerobak, wanita-wanita berkerudung dan pria-pria berbadan tegap saling menyusul dalam gelap.

Saya tidak kenal jalan ini.

Ini sudah hari ketiga saya di Giza, dan hampir setiap hari saya pulang menjelang petang dari Kairo menuju Giza. Senja merah dan jingga bercampur seenaknya dengan warna lusuh kota tua. Kairo seolah perempuan putus asa yang tampak sudah terlalu lelah untuk menyeka air mata. Ia terlihat usang, meski di dalamnya tersimpan jutaan sejarah dan cerita.

Saya dan Muhammad, supir taksi yang saya sewa dari penginapan tempat saya tinggal di Giza, tak banyak bercakap-cakap. Bahasa Inggrisnya pada tingkatan ala kadarnya, tapi tutur katanya santun, rautnya penuh senyum dan sorot matanya lembut. Petang ini ia mengambil jalan pintas yang tak pernah kami lewati sebelumnya.

Ia mulai keluar dari jalan utama, melewati deretan bangunan kosong, perempatan di pinggir pasar, hingga akhirnya masuk jalan sempit berbatu yang semakin mengecil.

Gelap. Tak ada lampu jalan. Hanya cahaya-cahaya samar terpancar dari dalam rumah penduduk sekitar.
Saya mulai gemetar. Bingung. Kami tidak pernah lewat jalan ini, dan saya tak berani bertanya.

Muhammad melaju taksinya semakin kencang. Telfon genggamnya berbunyi. Ia mengangkatnya. Saya tak paham bahasa Arab, tapi insting saya mengatakan seseorang menunggunya, dan telfon tadi adalah konfirmasi Muhammad bahwa ia segera tiba.

Tamat.
Pikir saya.
Beginilah rupanya saya akan mengakhiri hidup saya. Diculik dan disekap di dalam taksi di negara penuh konflik yang berbahaya. Inilah harga yang harus saya bayar karena saya bertaruh nyawa berkelana sendiri di Afrika.

Jalan semakin gelap, taksi Muhammad mulai menepi di depan gang kecil. Jantung saya berdegup kencang. Loncat! Lari! Otak saya berputar dan memberikan perintah bertubi-tubi, tapi saya hanya terdiam kaku. Saya takut. Air mata panik sudah mengambang, saya tak lagi ingat doa apa yang harus dibaca di situasi seperti ini.

“Wait here, a moment.”
Muhammad menengok dan berkata kepada saya. Tangannya memegang erat telfon genggam, seraya matanya menatap tajam ke arah mulut gang.Hening.

Satu.. Dua..Tiga
Saya berhitung dalam hati. Saya takut mati tapi saya tak berani lari.

Mulai terdengar langkah-langkah kaki dari dalam gang. Dua buah siluet bergerak perlahan. Saya menahan nafas. Sesak.

Pada suatu waktu.

Lalu tiba-tiba lampu jalan menyala perlahan.

Setitik demi setitik bayangan tersebut menyerupa sosok dalam terang.

Dua orang anak kecil.
Setengah berlari menuju taksi. Yang pertama laki-laki, usianya mungkin 10 tahun, yang kedua perempuan, hanya berjarak beberapa tahun lebih muda.
Keduanya membawa rantang makanan di kanan dan kiri.
Muka mereka berseri-seri. Yang perempuan semangat sekali nyaris berlari.

Saya tersedak.
Saya suka anak kecil, suka sekali. Tapi entah kenapa dua malaikat ini terlihat jauh lebih lucu dan lebih menggemaskan dari anak kecil manapun yang pernah saya temui.
Mereka mendekat ke taksi.

“These are my children. Dinner. Eat at hotel with Abdullah”

Mereka anak-anaknya. Anak-anak yang dipesan oleh sang Ibu untuk lari bergegas keluar gang, membawakan makan malam, sebab taksi ayahnya sudah dekat. Agar ayahnya bisa makan malam dengan teman-temannya di penginapan saya. Teman-teman yang berbaik hati memberinya pelanggan, turis asing seperti saya.

“Salim.. salim” seru Muhammad kepada anak-anaknya.

Saya membuka pintu mobil dan mereka meraih tangan saya untuk menciumnya. Si gadis kecil terlihat senang sekali melihat tampang saya yang asing. Mereka tersenyum dan tertawa kepada saya, sebelum melambai dan mengucap selamat tinggal. Berlari kembali ke dalam gang.

Ada banyak saat dalam hidup saya di mana saya kagum bagaimana urutan cerita yang saya susun rapi di kepala saya, berakhir dengan adegan yang luar biasa berbeda dalam kehidupan nyata. Ribuan kali saya kecewa karena “bahagia selamanya” tidak menjadi penutup cerita “pada suatu waktu” saya.

Ada banyak saat. Ada ribuan kali.

Tapi tidak pada waktu itu di Giza.

Apa yang saya rasakan ketika melihat senyum tulus kedua bocah malam itu, adalah rasa bahagia yang akan terus hinggap di dasar dada.

“Bahagia Selamanya”.

18 thoughts on “Pada Suatu Waktu di Giza

  1. Aduh, post ini bener-bener ngingetin gue sama keledai dan onta-onta di gang-gang kecil Giza, deket piramid. Pengen balik ke sana 😦

    Like

    1. Lala, terima kasih yaa sudah membacanya dengan sepenuh hati juga. Kangeennn ih 😘 eh iya selamat yaa untuk kelahiran anak pertamanya. Kangen deh pengen ngobrol lagiii

      Like

Leave a comment