But First, Let’s Have Coffee

Termenung di depan laptop dengan secangkir kopi di meja selalu membuat saya teringat suatu sore bersendiri di akhir Februari 2012. Hampir genap tiga tahun yang lalu nasib menyapa saya melalui petualang lain yang juga bersendiri dengan secangkir kopi.

Saya tengah bersendiri menyelesaikan beberapa deadline pekerjaan di coffee shop, mengambil sofa untuk 4 orang di dekat jendela, karena posisinya yang nyaman dan cahaya yang cukup terang.

Sesaat kemudian datang seorang perempuan caucasian,parasnya anggun dengan rambut ikal kecoklatan.

“Sorry, is this seat taken?” Ia menunjuk ke sofa di hadapan saya.

Saya kebingungan menjawabnya. Selama ini,  budaya kafe di Jakarta adalah hanya dengan membayar segelas kopi kita layak mendapatkan wifi gratis, serta bebas duduk hingga pantat pegal di mana saja  -termasuk bebas duduk di sofa untuk berempat meski kita cuma sendiri dan tak akan ada yang akan  berani datang mengusir ataupun bertanya.

“No, not at all actually..” saya menjawab dengan ragu, agak malu karena perilaku saya yang serakah sekaligus bertanya-tanya kenapa perempuan ini memilih duduk di sini padahal banyak tempat lain yang kosong.

Ia tersenyum. Menaruh kopinya di meja, lalu duduk diam melamun, pandangannya kosong. Ada raut lelah sekilas terpancar. Oh well, now this is getting awkward.. pikir saya.

“Are you okay? Do you need anything? Do you need to use the table?” Saya mulai sibuk membereskan kertas-kertas dan laptop saya yang berserakan di meja.

“No, that’s alright.. I’m just zoning out..” ia menjawab dengan tenang dan santai. Seolah duduk manis di meja orang lain dengan tatapan kosong adalah hal yang sangat wajar.

“How long have you been in Jakarta ? Do you live here?” Saya berusaha untuk membuat percakapan bergulir, karena masih aneh rasanya melihat ada orang asing duduk di depan saya dan saya tidak menyapanya.

“Almost a month now, no, I’m just visiting with my company, we’ve been having a musical show here in Jakarta ..The Phantom of the Opera, you ever heard of it? “ Ia mulai bicara lebih banyak, dan terlihat lebih ramah. Thick american accent. Dari cara berpakaian dan bicaranya ia terlihat masih sangat muda. Musikal? Sore saya sepertinya baru saja menjadi sangat menarik.

“Wow, that is interesting.. Are you singing for the musical?” tanya saya lebih lanjut.

Namanya Renee Rakel, ia adalah salah seorang penyanyi dalam pementasan pertunjukan musikal Phantom of the Opera di Jakarta. Hari itu adalah hari liburnya dan ia membutuhkan waktu untuk bersantai sejenak sekaligus mencari koneksi wifi yang stabil.

“So where do you live in USA, Renee?”

“I live in New York. I’m a student in New York University.”

New York. Salah satu tujuan idaman saya. Sulit sekali menyembunyikan kegirangan saya ketika akhirnya bertemu salah seorang New Yorker. Mata saya berbinar, membayangkan kehidupan Renee di Big Apple. Kampusnya yang dekat dengan Washington Square, tempat hang outnya di Greenwich Village, kunjungan akhir pekannya ke MoMa dan The Mets, pretzel dan hot dog yang bisa Ia beli dengan sembarang di pinggir jalan.

“Oh my God, I’ve been wanting to go to New York. It’s one of my wildest dreams”

Ia menyambut mimpi saya dengan hangat. Ia menceritakan betapa hidupnya suasana New York dan betapa menyenangkannya kota tersebut untuk dikunjungi. Kami lalu bicara lebih lanjut tentang Jakarta, ia ingin tahu kehidupan orang muda Jakarta, ingin mencoba tempat-tempat nongkrong yang seru, berburu barang antik di pasar loak, dan bertanya di mana bisa membeli DVD tari-tarian tradisional Indonesia. Hari liburnya sangat terbatas karena pertunjukan musikal mereka diselenggarakan setiap malam, ia ingin sekali punya waktu jalan-jalan dan melihat Jakarta dengan segala konten lokalnya, bukan hanya suguhan makanan Indonesia dengan tari-tarian tradisional. Saya lalu menawarkan diri, “You know what? you can go with me and my friends.. I can show you around, we can have dinner, grab a drink..let me know when you’re free.”

Ia mengangguk dan menerima ajakan saya dengan semangat. Kami bertukar kontak di facebook dan mengatur janji temu berikutnya.

Jumat malam. Malam terakhir pertunjukan Renee dan kawan-kawannya. Saya menjemputnya di lobby hotel mereka bersama Ribka, salah seorang sahabat saya. Renee muncul bersama teman sekamarnya, Kristin. Kami lalu makan malam bersama di daerah Senopati. Bertukar cerita panjang lebar. Saya, Ribka, Renee dan Kristin menceritakan kisah kami masing-masing sebagai perempuan-perempuan yang berkarya. Renee dan Kristin terlihat bahagia dengan restoran pilihan saya. Saya ingat Kristin bahkan menyebut makan malamnya malam itu adalah the best meal selama ia di Jakarta. Renee dan Kristin menutup malam itu dengan pesan sederhana “You should really come to New York Dini, don’t even bother to find a place to stay, you can stay with one of us. You’re going to love it there”.

Saya mengangguk yakin menerima ajakan mereka. Saya berjanji saya akan berusaha keras dan menabung hingga akhirnya bisa makan malam dengan mereka nanti di New York suatu hari. Kami berfoto berempat sebelum berpisah, lalu menambahkan satu sama lain di Facebook. Kami sesekali bertukar kabar setelah pertemuan itu, pesan-pesan singkat di Facebook, komentar di foto, dan sapaan-sapaan manis yang mengingatkan kami pada kenangan indah makan malam kami di sebuah kafe kecil di Jakarta.

***

2 tahun kemudian, Februari 2014.

Renee adalah salah satu orang pertama yang saya hubungi ketika saya memutuskan berangkat ke New York.

Saat itu Ia telah menikah, sedang
mengandung dan telah pindah ke Geneva, sebuah kota kecil di dekat Chicago. Banyak hal telah terjadi dalam dua tahun. Renee was almost a mother, that young girl who was zoning out in Starbucks with me. Ia mengontak semua temannya yang ia tahu masih ada di New York, mencoba mencarikan saya tempat tinggal untuk kunjungan saya nanti. Ia tahu kecil kemungkinan saya mengunjunginya ke Chicago, karena itu artinya biaya ekstra lagi untuk tiket pesawat, tapi Ia begitu bahagia tahu bahwa saya akhirnya akan ke New York.

Untungnya saya juga berhasil menghubungi Kristin. Beruntung ia masih tinggal di New York, di sebuah apartemen 3 kamar bersama 3 orang gadis lainnya. Saya pun akhirnya menghabiskan seminggu di apartemennya di Harlem, di kamar salah satu temannya yang disewakan dengan harga luar biasa miring. Kristin juga yang sibuk memberikan saya berbagai petunjuk mengenai New York, mengeluarkan daftar rekomendasi tempat makan, ulasan pertunjukan musikal serta mengajari saya naik turun Subway.

Karena kebaikan hati Kristin dan Line, pemilik kamar yang membiarkan saya tinggal di tempat mereka selama saya di New York, saya mampu menyisihkan uang saya untuk membeli tiket ke Chicago. Setelah dua tahun, saya akan bertemu Renee dan menyapa si  windy city.

Sulit rasanya menahan bahagia yang meluap-luap ketika pagi itu akhirnya saya bertemu kembali dengan Renee di O’Hare Airport. Kami berpelukan erat dan ia berkali-kali berkata,

“This is crazy Dini, this is crazy, you’re finally here..oh my God.”

Kami bertukar cerita seperti sepasang sahabat lama. Keluarga, karir, harapan, mimpi-mimpi, semua kami curahkan seolah kami kenal dari kecil.

Ia membawa saya ke rumahnya, mengenalkan saya pada suaminya, mengantarkan saya keliling kota kecilnya dan menyiapkan kamar tidur untuk saya. Setelah sekian lama hanya melihat perkembangan hidupnya melalui kotak-kotak kecil di layar hand phone, kini saya ada persis di sebelahnya, tertawa bersamanya sambil terus mengulang kalimat “I’m so happy for you..”

Absurd.
Sebelum hari itu di Geneva, saya hanya pernah dua kali bertatap muka dengan Renee, namun ketika saya mencicipi chicken steak masakannya saya seolah langsung melebur dengan keluarga kecilnya.

Matt, suami Renee, ilmuwan baik hati penyuka peanut butter jelly sandwich itu sempat bertanya, “I know you know each other from Jakarta, but I never really heard the story of how you guys got to know each other..”

Saya dan Renee menatap satu sama lain dan tertawa tergelak. Kami tertawa mengingat suatu sore kami di Jakarta, dengan segelas kopi dan rasa asing yang belum teraduk. Suatu sore ketika kami tanpa disadari membuka mulut untuk sebuah percakapan kecil yang kemudian mengental menjadi cerita petualangan bersendiri satu sama lain.

Mungkin ini cerita aneh. Mungkin saja sore itu hanya kebetulan. Mungkin saja persahabatan lintas benua kami hanya cocok ada di film layar lebar.

Mungkin…
Sudah saatnya minum kopi lagi.

Mari ke sini, angkat cangkirmu untuk bersendiri. Bersulang!

16 thoughts on “But First, Let’s Have Coffee

  1. This is a lovely story.. Memang kita ga akan tau ya apa yang akan terjadi di hidup kita.. Merinding bacanya.. Baguss banget.. 😁

    Like

    1. Terima kasih sudah menyempatkan baca 🙂 Saya sampai sekarang juga masih sering nggak percaya ini bisa kejadian.. Haha I guess a lovely story gets even lovelier when it is shared.

      Like

  2. i don’t even know am i the one who feel warm with this, i enjoy read it. i thought it only happen in a movie but it real. cant wait to read more other post. by the way, hifive ? know i am the one who sound weird 🙂

    Like

  3. Ih terharu bacanya. You really have a way with words 🙂
    Saya juga bbrp bulan yll kenalan sama seorang New Yorker, dia sudah 9 th tinggal di Jakarta. Bedanya, awal saya amat sangat jengkel ngobrol dengannya, tapi kelamaan ternyata dia teman ngobrol yang amat menarik. Dia tahu banyak hal dan senang berbagi pengetahuannya. Tebak hayo kenalan dimana?
    Sebuah burjo di daerah Setiabudi..hahahaha…life, huh? Throw you things you never expected.
    Baru nemu blog ini dan jatuh hati ama isinya. Salam kenal! 😉

    Like

Leave a comment